Hampir semua responden Survei Perilaku
Siswa SLTA di Kabupaten Mimika pernah mendengar tentang HIV dan AIDS, dan juga pernah
mengikuti berbagai penyuluhan terkait program pengendalian HIV di sekolahnya. Hal
ini sejalan dengan hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan para guru yang intinya
menyatakan bahwa penyuluhan HIV sudah cukup intensif dilakukan dilingkungan sekolah.
Selain itu, Guru juga merupakan sumber informasi tentang HIV dan AIDS yang paling
banyak disebutkan oleh responden. Temuan ini berbeda dengan hasil survei perilaku
pada siswa SLTA di 6 kota lainnya (Yogyakarta, Tangerang, Pontianak, Samarinda,
Jakarta dan Surabaya) yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada tahun 2007-2009,
dimana televisi merupakan sumber informasi yang paling sering disebutkan oleh respondennya.
Program penyuluhan terbukti mampu
memberikan pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap tingkat pengetahuan
komprehensif tentang cara penularan dan pencegahan HIV. Hal ini dibuktikan oleh
rasio odds 10.1 dengan 95% CI 3.2 – 32.2 dan nilai p <0.01 yang bisa diartikan
bahwa responden yang pernah mengikuti program penyuluhan 10 kali lebih mungkin untuk
memiliki pengetahuan komprehensif. Walaupun demikian 1 dari 2 responden masih memiliki
pemahaman yang keliru tentang cara pencegahan dan penularan HIV.
Banyaknya responden yang memiliki
pemahaman keliru tentang cara penularan dan pencegahan HIV, sedikit banyak berkontribusi
pada tingginya perilaku stigma pada ODHA yang mencapai 35% responden. Indikasi hubungan
atau pengaruh tingkat pengetahuan komprehensif dengan perilaku stigma ditunjukan
oleh hasil analisis regresi yang signifikan secara statistik (Rasio Odd 2.4; 95%
CI 1.3 – 4.4; nilai p = 0.008). Persentase perilaku stigma tersebut tidak jauh berbeda
dengan hasil survei perilaku di 6 kota lainnya yang berkisar antara 28% - 49%.
Persentase responden Survei Perilaku
Siswa SLTA di Kabupaten Mimika yang mengaku pernah berhubungan seks (26%) 2.5 –
9 kali lebih tinggi dibanding hasil survei perilaku pada siswa SLTA di 6 kota lainnya
yang berkisar antara 3% (Tanggerang) - 11% (Surabaya). Apalagi jika dibandingkan
dengan persentase responden etnis/suku Papua yang pernah berhubungan seks (41%)
maka perbedaannya menjadi yaitu 4 – 12 kali lebih tinggi. Selain itu, 1 dari 2 reponden
yang mengaku pernah berhubungan seks juga mengaku melakukannya dengan lebih dari
1 pasangan seks dalam 1 tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa siswa SLTA
pada umumnya dan siswa SLTA etnis/suku Papua di Kabupaten Mimika jauh lebih berisiko
untuk terinfeksi HIV ataupun menghadapi masalah kesehatan reproduksi lainnya dibanding
siswa SLTA di kota-kota lainnya dimana survei perilaku sejenis pernah dilakukan.
Alasan berhubungan seks yang sering
disebutkan oleh siswa SLTA laki-laki peserta FGD adalah karena ingin mencoba dan
mengikuti teman sebaya, sehingga banyak juga diantaranya yang berhubungan seks dengan
Wanita Pekerja Seks karena tidak mempunyai pacar atau pacarnya tidak mau diajak
berhubungan seks. Sedangkan pada siswa SLTA perempuan peserta FGD, alasan yang diungkapkan
cukup mencengangkan karena lebih banyak yang melakukan hubungan seks untuk mendapatkan
uang dan melakukannya dengan laki-laki yang lebih tua usianya seperti Karyawan,
Supir Taxi dan juga TNI/Polisi. Temuan ini perlu mendapat perhatian yang serius
dari semua pihak karena risiko terinfeksi HIV perempuan muda yang berhubungan seks
dengan laki-laki yang jauh lebih tua menjadi jauh lebih tinggi dibanding dengan
laki-laki sebaya.
Alasan berhubungan seks responden
survei perilaku siswa SLTA laki-laki di Kabupaten Mimika sejalan dengan temuan dari
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) yang dilakukan Badan Pusat
Statistik tahun 2007, dimana alasan berhubungan seks 1 dari 2 laki-laki usia 15-24
tahun dan belum menikah adalah karena ingin tahu. Sedangkan alasan berhubungan seks
responden perempuan berbeda dengan hasil SKRRI, dimana pada responden SKRRI alasan
sebagian besar responden perempuan berhubungan seks adalah karena terjadi begitu
saja (38%) dan karena dipaksa oleh pasangannya (21%).
Beberapa faktor yang mempengaruhi
riwayat hubungan seks responden Survei Perilaku Siswa SLTA di Kabupaten Mimika adalah
riwayat menonton adegan/film porno, status tinggal dengan orang tua, serta pengetahuan
komprehensif tentang cara pencegahan dan penularan HIV. Hasil survei kuantitatif
tersebut didukung dengan temuan dari FGD dengan siswa/siswi SLTA yang menyatakan
sering melakukan hubungan seks sambil atau setelah menonton film porno dan tempat
melakukan hubungan seks yang paling sering adalah tempat kos yang diistilahkan dengan
“Mabes”.
Konsistensi penggunaan kondom
dalam hubungan seks 1 tahun terakhir dari responden masih sangat rendah, dimana
alasan yang paling sering diungkapkan untuk tidak menggunakan kondom adalah karena
sayang/cinta pasangannya dan malu untuk membeli kondom. Walaupun demikian jika dibandingkan
dengan hasil survei perilaku pada siswa SLTA di 6 kota lainnya (3%-18%), tingkat
konsistensi penggunaan kondom dalam hubungan seks 1 tahun terakhir siswa SLTA di
Kabupaten Mimika termasuk kedalam kelompok yang tinggi.
Rendahnya tingkat penggunaan kondom
dan tingginya frekuensi hubungan seks responden Survei Perilaku Siswa SLTA di Kabupaten
Mimika menyebabkan tingginya tingkat kehamilan yang tidak diinginkan dari responden
perempuan maupun pasangan responden laki-laki. Persentase responden perempuan yang
pernah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan tersebut bahkan hingga hampir 10
kali lebih tinggi dibanding hasil SKRRI pada perempuan usia 15-24 tahun yang belum
menikah.
Analisis regresi berganda beberapa
variabel yang diduga berpengaruh terhadap kehamilan yang tidak diinginkan seperti
status tinggal dengan orang tua, pengetahuan komprehensif tentang cara penularan
dan pencegahan HIV, cakupan program penyuluhan dan suku/etnis orang tua menunjukan
bahwa hanya suku/etnis yang berpengaruh secara statistik. Responden atau pasangan
responden suku/etnis Papua yang pernah berhubungan seks 2 – 8.5 kali lebih mungkin
hamil dibanding responden Non-Papua (Rasio Odd 4.3; 95% CI 2.1 – 8.5; nilai p <
0.001). Bahkan responden atau pasangan responden suku/etnis Papua yang hamil 8 kali
lebih banyak yang meneruskan kehamilannya hingga melahirkan dibanding responden
Non-Papua, yang juga berarti lebih banyak responden suku/etnis Papua yang terpaksa
tidak melanjutkan sekolahnya akibat hamil karena dari hasil FGD dengan para guru
diketahui bahwa sekolah akan mengeluarkan siswi yang hamil.
Perilaku berisiko lainnya yang
tidak berhubungan langsung dengan penularan HIV tetapi cukup banyak dilakukan oleh
siswa SLTA di Kabupaten Mimika adalah mabuk karena minum minuman beralkohol dan
mengkonsumsi Napza lainnya. Perilaku tersebut sangat di pengaruhi oleh perilaku
merokok responden.
Laporan lengkapnya bisa diakses
melalui link dibawah ini
Sumber: