PB IDI menyatakan bahwa kondom adalah alat kesehatan yang mampu mencegah penularan infeksi menular seksual (termasuk HIV) bila digunakan pada setiap kegiatan seks berisiko -- Hindari diskriminasi dan stigmatisasi pada orang rawan dan orang yang telah terkena HIV
Tampilkan postingan dengan label ATIKEL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ATIKEL. Tampilkan semua postingan

INFORMASI DASAR HIV AIDS


Apa itu HIV?

HIV ada singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Virus yang menyebabkan rusaknya/melemahnya sistem kekebalan tubuh manusia.

Bagaimana virus HIV bisa menimbulkan rusaknya sistem kekebalan manusia ?

Virus HIV membutuhkan sel-sel kekebalan kita untuk berkembang biak. Secara alamiah sel kekebalan kita akan dimanfaatkan, bisa diibaratkan seperti mesin fotocopy. Namun virus ini akan merusak mesin fotocopynya setelah mendapatkan hasil copy virus baru dalam jumlah yang cukup banyak. Sehingga lama-kelamaan sel kekebalan kita habis dan jumlah virus menjadi sangat banyak.
Dimanakah virus HIV ini berada ?

HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu. Sedangkan cairan yang tidak berpotensi untuk menularkan virus HIV adalah cairan keringat, air liur, air mata dan lain-lain
Apakah CD4 itu ?

CD 4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit. CD 4 pada orang dengan sistem kekebalan yang menurun menjadi sangat penting, karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam memerangi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD 4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol)
Apa fungsi sel CD4 ini sebenarnya ?

Sel yang mempunyai marker CD4 di permukaannya berfungsi untuk melawan berbagai macam infeksi. Di sekitar kita banyak sekali infeksi yang beredar, entah itu berada dalam udara, makanan ataupun minuman. Namun kita tidak setiap saat menjadi sakit, karena CD4 masih bisa berfungsi dengan baik untuk melawan infeksi ini. Jika CD4 berkurang, mikroorganisme yang patogen di sekitar kita tadi akan dengan mudah masuk ke tubuh kita dan menimbulkan penyakit pada tubuh manusia
Apa gejala orang yang terinfeksi HIV menjadi AIDS?


Bisa dilihat dari 2 gejala yaitu gejala Mayor (umum terjadi) dan gejala Minor (tidak umum terjadi):

Gejala Mayor:
- Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
- Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
- Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
- Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
- Demensia/ HIV ensefalopati

Gejala MInor:
- Batuk menetap lebih dari 1 bulan
- Dermatitis generalisata
- Adanya herpes zostermultisegmental dan herpes zoster berulang
- Kandidias orofaringeal
- Herpes simpleks kronis progresif
- Limfadenopati generalisata
- Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
- Retinitis virus sitomegalo

Kasus Dewasa:
Bila seorang dewasa (>12 tahun) dianggap AIDS apabila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dengan sekurang-kurangnya 2 gejala mayor dan 1 gejala minor, dan gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.

Bagaimana HIV menjadi AIDS?

Ada beberapa Tahapan ketika mulai terinfeksi virus HIV sampai timbul gejala AIDS:

1. Tahap 1: Periode Jendela
- HIV masuk ke dalam tubuh, sampai terbentuknya antibody terhadap HIV dalam darah
- Tidak ada tanda2 khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
- Test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini
- Tahap ini disebut periode jendela, umumnya berkisar 2 minggu - 6 bulan

2. Tahap 2: HIV Positif (tanpa gejala) rata-rata selama 5-10 tahun:
- HIV berkembang biak dalam tubuh
- Tidak ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
- Test HIV sudah dapat mendeteksi status HIV seseorang, karena telah terbentuk antibody terhadap HIV
-Umumnya tetap tampak sehat selama 5-10 tahun, tergantung daya tahan tubuhnya (rata-rata 8 tahun (di negara berkembang lebih pendek)

3. Tahap 3: HIV Positif (muncul gejala)
- Sistem kekebalan tubuh semakin turun
- Mulai muncul gejala infeksi oportunistik, misalnya: pembengkakan kelenjar limfa di seluruh tubuh, diare terus menerus, flu, dll
- Umumnya berlangsung selama lebih dari 1 bulan, tergantung daya tahan tubuhnya

4. Tahap 4: AIDS
- Kondisi sistem kekebalan tubuh sangat lemah
- berbagai penyakit lain (infeksi oportunistik) semakin parah

Apa itu Adiksi?



Apa itu Adiksi?


Adiksi berasal dari bahasa inggris Addiction. Adiksi sama dengan Kecanduan. Adiksi merupakan kondisi dimana seseorang sudah tidak lagi mempunyai kendali terhadap perilaku kecanduannya. Dalam konteks kecanduan narkoba, maka zat-nya bisa Heroin (putau), sabu, ganja, pills, dll. Dalam pendekatan yang lain, Adiksi merupakan Penyakit. Chronicle relapsing disease - ¬penyakit kronis yang gampang kambuh. Oleh sebab itu berdasarkan pendekatan ini, seseorang yang sudah berhasil berhenti menggunakan narkoba untuk periode waktu tertentu tidak dikatakan Sembuh, tetapi lebih sering dikatakan Pulih.


Jadi kalau ada orang yang ketahuan pakai ganja/putau/sabu, sudah pasti kecanduan? Belum tentu. Mungkin orang tersebut baru pertama kali pakai, mungkin dia baru coba-coba saja, tapi bisa juga dia sudah cukup sering menggunakan narkoba tapi masih bisa mengendalikannya, atau, ya memang dia sudah kecanduan.


Ada beberapa terminologi dalam menggambarkan proses perjalanan kecanduan. WHO membaginya dalam tahapan: Abstinent --> Experimental --> Occasional --> Regular --> Habitual --> Dependent. Sedangkan pendekatan yang lain menggambarkan proses tersebut sebagai berikut: mulai di tahap Pengguna --> Penyalahguna -->Kecanduan.


Kalau kita kembali pada penjelasan diatas, ada 2 hal yang paling membedakan antara seseorang yang sudah kecanduan dengan yang belum, yaitu: Masalah dan Kontrol. Orang yang sudah kecanduan, sama sekali tidak mempunyai kendali atas hidupnya. Seluruh aspek kehidupannya dikendalikan oleh narkoba. Mau makan pakai narkoba dulu, mau mandi pakai narkoba, mau sekolah/kerja pakai narkoba, mau tidur pakai narkoba, mau bersosialisasi pakai narkoba. Dia menggunakan narkoba hanya untuk menjadi ’normal’. Demikian juga dengan masalah dalam aspek kehidupannya. Masalah dengan uang, karena kebutuhan dan toleransi terhadap narkoba terus meningkat, prestasi menurun, masalah interpersonal, dengan keluarga, teman dan sebaya. Terlibat dengan situasi kriminal dan kecelakaan lalulintas juga merupakan hal umum ditemukan pada orang yang kecanduan narkoba.


Definisi paling sederhana dari adiksi adalah SAYA TIDAK BISA BERHENTI!
Apa saja yang dapat menyebabkan adiksi?

Banyak sekali sekali situasi yang dapat dijadikan alasan untuk menggunakan narkoba. Dipecat dari pekerjaan, perceraian orang tua, diputusin pacar, stress pekerjaan, dorongan teman sebaya, pesta ulang tahun, pesta perpisahan, mau pergi ke gunung, mau mancing di laut, dst. Kamu bisa sebutin sendiri.... Kalau mau dikerucutin bisa jadi tinggal 3 hal. Yaitu: Untuk senang-senang, tekanan teman sebaya dan lari dari kenyataan. Tapi kalau mau dilihat intinya adalah Instant Effect.


Maksudnya?
Narkoba dikenal juga sebagai mood altering drugs. Narkoba mampu merubah tingkat kesadaran dan kondisi emosi orang yang menggunkannya – efeknya seperti apa, tergantung dari jenis narkoba yang digunakan. Ada yang tergolong stimulan (mis: ekstasi, shabu, kokain, dll), ada yang tergolong depresan (putau, alkohol, dll), dan ada juga yang tergolong halusinogen (Ganja, magic mushroom, LSD).


Pernah lihat orang lagi stress berat, datang ke bar, lalu setengah jam kemudian sudah heboh sendirian. Pernah lihat orang pakai ekstasi? Apapun kondisi mental dan emosional yang ada sebelumnya, begitu menelan ekstasi, 30 menit kemudian sudah asyik sendiri, jingkrak-jingkrakan diatas meja atau mojok didepan speaker. Heroin lebih dasyat lagi, hanya dalam hitungan detik, efeknya langsung dirasakan... (eit! Sabar, jangan buru2 tergoda. Itu bagian ’enak’-nya. Denger dulu bagian susah-nya...).


Kembali kepertanyaan. Jadi sudah jelaskan kenapa orang pakai narkoba?
Kenapa orang bisa jadi adiksi sedangkan yang lain tidak?

Ada satu literatur dari Alcoholic Anonymous (AA) yang menjelaskan dengan sangat sederhana. Mereka menyebutnya FAKTOR X. Ada sekelompok orang yang sama sekali tidak pernah menggunakan narkoba seumur hidup mereka. Ada sebagian orang yang alergi dengan narkoba. Mereka menggunakan narkoba, kemudian mabuk, efek mabuk membuat kepala pening, perut mual, badan pegal, dst. Lalu setelah itu mereka memutuskan tidak lagi menggunakan narkoba. Itu adalah pengalaman pertama dan cukup. Ada sebagian orang yang pernah beberapa kali atau beberapa waktu menggunakan narkoba, lalu kemudian memutuskan, cukup.


Pada orang yang memiliki faktor X, kondisinya berbeda. Mereka menggunakan narkoba, lalu mabuk. Sebagian bisa langsung menikmati, sebagian lagi membutuhkan waktu. Tapi ada satu kesamaan diantara keduanya. Mereka sama-sama menyukai efek yang dirimbulkan oleh narkoba.


Apa iya sesederhana itu?
Jangan marah dong. Kan diatas sudah dibilang, ini penjelasan sederhana. Tentu saja pada kenyataannya terdapat faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi. Individu baru satu faktor, yang lainnya adalah faktor demografi, sosial-ekonomi, budaya termasuk nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dimana individu tersebut berada.


Misalnya, kita bicara pada orang yang memiliki faktor X saja ya. Sebut saja namanya Banyu. Banyu tinggal disebuah desa tepat dikaki lereng gunung sekitar 75 KM dari kota Jaya Pura. Masyarakat di desa Banyu sangat tradisional. Semua kebutuhan hidup (sandang, papan, pangan) mereka dapatkan dengan cara swadaya, bertani, beternak dan berburu. Banyu seorang dengan faktor X.


Satu hari ada seorang mahasiswa yang juga seorang pecandu putau datang kedesanya. Setelah semakin saling mengenal Banyu diajak menggunakan putau oleh pemuda tersebut. Selanjutnya selama kurang lebih dua minggu kedepan Banyu rutin menggunakan putau setiap hari. Hingga pada akhirnya pemuda tersebut meninggalkan desanya, kembali ke Jakarta. Apa yang terjadi dengan Banyu?


Apakah akan berbeda jika Banyu bukan tinggal di desa itu, tetapi di salah satu wilayah pusat peredaran narkoba di Jakarta? Atau jika Banyu bukan anak petani tetapi berasal dari keluarga kaya?


Ya . Seperti itu kira-kira gambarannya.

Apa beda orang yang bisa jadi adiksi dengan orang yang kecanduan?

Orang yang bisa teradiksi itu bisa kita istilahkan punya bakat untuk kecanduan. Sedangkan kecanduan adalah kondisi dimana individu tersebut sudah kehilangan kendali terhadap narkoba, seperti yang sudah dijelaskan diatas.


Apa faktor utama yang menyebabkan orang bisa adiksi?

Selain faktor X yang sudah dijelaskan diatas, umumnya adalah 3 situasi yang sempat disebutkan pada pertanyaan no. 2, yaitu: Untuk senang-senang, tekanan teman sebaya dan lari dari kenyataan.


Untuk senang-senang
Sebagian orang mulai menggunakan narkoba untuk alasan situasi sosial saja, biasanya zat yang digunakan adalah alkoho atau ganja. Misalnya dalam suatu pesta, acara, atau situasi tertentu. Sebagian orang cukup sampai disana, sebagian lagi lanjut dalam kecanduan.


Tekanan tean sebaya
Sebagian besar pecandu mulai menggunakan narkoba pada usia remaja awal (12 – 17 tahun). Umumnya zat yang digunakan adalah rokok, alkohol, ganja atau pills. Kemudian pada usia 20an mereka sudah berada tahap kecanduan.


Kalau kita telaah dari tinjauan psikologinya kenapa kebanyakan pengguna narkoba mulai dimasa remaja, maka penjelasannya seperti ini: salah satu tugas perkembangan dimasa remaja adalah membangun relasi dengan sebaya. Ini adalah masa beresiko, jika tidak dikawal dengan baik. Nilai2 sebaya menjadi lebih dominan bahkan dibanding nilai2 yang selama ini ditanam oleh keluarga. Remaja akan terdorong untuk memiliki kelompok/menjadi bagian dari suatu kelompok. Bisa anda bayangkan jika nilai yang dianut oleh kelompok tersebut adalah mengguakan narkoba?


Lari dari kenyataan
Karena efek narkoba yang sangat instan. (lihat penjelasan di no.2). maka tak heran banyak orang yang coba menggunakannya sebagai alat untuk lari dari realita.


Apa masalah utama pada orang yang adiksi?

Masalah utama pecandu adalah PENYANGKALAN. Penyangkalan terhadap realita yang ada. Penyangkalan bahwa kehidupannya sudah diambil alih oleh narkoba. Penyangkalan bahwa dirinya bermasalah. Penyangkalan terhadap ketidakberdayaannya terhadap narkoba, dst. Situasi ini yang sering disebut oleh masyarakat pada umumya dengan istilah ’terjebak dalam lingkaran setan’


Situasi ini dimulai dari menggunakan narkoba --> berusaha mengatur penggunaan narkoba --> kegagalan dalam mengendalikan penggunaan narkoba --> PENYANGKALAN --> kembali menggunakan narkoba untuk lari dari kenyataan/menyelesaikan masalah. Dan seterusnya kembali lagi. Lingkaran tersebut akan semakin membesar sejalan dengan periode penggunaan narkoba.
Apa sebetulnya tanda-tandanya orang telah adiksi?

Secara umum dapat dilihat dari perubahan perilaku, perubahan nilai, penurunan prestasi, mulai ada masalah dengan tindak kriminal, masalah dengan lalu-lintas/kecelakaan, masalah dengan ekonomi/keuangan, dst.


Secara fisik, pada pengguna narkoba suntik akan sangat mudah dilihat, karena biasanya ada jalur bekas suntikan disepanjang lengan tangan, dan beberapa didaerah yang lain.


Pada pengguna ganja, umumnya mata merah dan kantung mata membengkak. Pada pengguna alkohol jauh lebih mudah dikenali, karena aroma khas alkohol akan tercium jelas.


Bagaimana yang harus dilakukan bila ada keluarga atau teman yang mengalami adiksi?

Ada 5 hal:
Pertama, jangan panik.
Kedua, jangan panik.
Ketiga, jangan panik.
Keempat, jangan panik.
Kelima, jangan panik.


Bagaimana cara membantu orang supaya bisa lepas dari adiksi?

Pertama, kita tidak bisa merubah seseorang. Yang bisa kita lakukan adalah membantu orang tersebut menemukan kekuatan dalam dirinya untuk membantu dirinya sendiri.


Tahap pertama menuju pemulihan adalah; si pecandu perlu menyadari dirinya bermasalah. Dalam program pemulihan biasanya disebut dengan istilah ’mentok’ atau ’hit the bottom’. Ini adalah kondisi dimana si pecandu berhadapan ’muka dengan muka’ dengan realita. Tidak ada lagi orang yang bisa dimanipulasi untuk menyelesaikan masalah2nya.


Gimana Caranya membuat si pecandu mentok?
Terapkan CINTA KERAS.
Cinta keras artinya, kita memberikan kesempatan pada si pecandu untuk bertanggung jawab atas kehidupannya.


Apakah Seorang adiksi bisa sembuh?

Berdasarkan pendekatan yang kita bicarakan diatas – kecanduan sebagai penyakit kronis yang mudah kambuh. Maka umumnya kita tidak menggunakan istilah sembuh, melainkan – PULIH. Sama seperti penderita diabet terhadap gula, Si pecandu akan tetap pulih selama dia tidak mengkonsumsi narkoba.

TES HIV


Apa itu VCT?

VCT atau Voluntary Counseling and Testing, atau konseling dan test sukarela, adalah kegiatan konseling bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan oleh seorang konselor VCT yang terlatih, yang dilakukan sebelum dan sesudah test darah untuk HIV di laboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien terlebih dulu menandatangani inform consent (surat persetujuan tindakan)
kenapa VCT penting?

- penting untuk dapat mengakses ke semua layanan yang dibutuhkan terkait pencegahan dan pengobatan HIV, AIDS
- penting karena memberikan dukungan untuk kebutuhan kliennya seperti perubahan perilaku, dukungan mental, dukungan terapi ARV, dan pemahaman yang benar dan faktual tentang HIV, AIDS.
 
dimana saja bisa mendapat layanan VCT?

VCT bisa didapat di Klinik Walihole atau di tempat layanan kesehatan atau klinik yang menyediakan layanan VCT, puskesmas, dan RS.

Siapa yang membutuhkan VCT?
- mereka yang mau melakukan test HIV
- mereka yang pernah berperilaku berisiko thd penularan HIV di masa lalu dan ingin merencanakan masa depannya











Apakah IMS itu ?


IMS adalah infeksi menular seksual yang akan ditularkan dari seseorang kepada orang lain dimana jalur utamanya adalah melalui hubungan seksual

Apakah ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan jika terkena IMS ?

Jika seorang perempuan terkena IMS, perempuan tersebut akan lebih tidak menunjukkan gejala jika dibandingkan dengan laki-laki. Diperkirakan sekitar 80-85% perempuan dengan IMS tidak akan menunjukkan gejala apapun. Gejala keputihan yang sering muncul pada perempuan merupakan hal biasa yang juga dipengaruhi oleh faktor lain (hormon dan lingkungan). Sehingga perempuan cenderung tidak akan mengobati infeksinya karena tidak ada gejala. Hal ini disebabkan karena alat reproduksi perempuan yang cukup luas jika dibandingkan dengan laki-laki. Pada pria alat reproduksi bermuara menjadi satu dengan alat berkemih. Sehingga ketika ada keluha dengan organ seksual otomatis akan menimbulkan keluhan jika berkemih.
Apa hubungan antara HIV dan IMS ?

IMS akan meningkatkan resiko seseorang terkena HIV dari hubungan seksual menjadi 2-10 kali lipatnya. Jika seseorang terkena IMS, maka pada kulit/mukosa permukaan organ reproduksi/seksual nya akan terdapat infeksi. Dalam bahasa ilmiahnya disebut dengan inflamasi atau proses peradangan. Jika terjadi peradangan maka akan banyak sekali sel darah putih yang berkumpul di permukaan. Sel darah putih sendiri sangat disukai oleh virus HIV. HIV akan segera berlekatan dengan sel-sel darah putih, sehingga proses masuknya virus HIV dalam tubuh manusia dipercepat. Itulah mengapa salah satu cara untuk memutuskan penyebaran HIV adalah dengan memutuskan mata rantai penyebaran IMS.
Apakah IMS bisa disembuhkan?
Sebagian besar IMS bisa disembuhkan. Namun ada beberapa IMS yan tidak bisa disembuhkan dan menimbulkan gejala berulang. IMS yang tidak bisa disembuhkan bisasanya disebabkan oleh virus, seperti - Herpes Kelamin (Herpes Simpleks) dan - Kutil Kelamin (Human Papiloma Virus). Sedangkan IMS yang bisa disembuhkan antara lain : - Gonoroe (kencing nanah) - Klamidiasis - Sifilis (Raja Singa)
Bagaimana untuk mendeteksi IMS pada perempuan yang sebagian besar tidak bergejala?

Satu-satunya cara untuk mendeteksi IMS pada perempuan adalah dengan melakukan pemeriksaan rutin ke layanan-layanan kesehatan yang ada fasilitas pemeriksaan IMS. Di sana nanti akan dilakukan pemeriksaan laboratorium sederhana yang bertujuan untuk mencari jenis bakteri dan akan diberikan pengobatan yang sesuai dengan bakteri tersebut.

World AIDS Day – Making a difference in West Papua


By John Barr


Agnella is a very determined person. Her passion is to save lives and to facilitate a quality of life for others who are HIV/AIDS positive.

Born and trained in Botswana, Agnella was recruited and placed to serve the community in West Papua by the German-based, United Evangelical Mission. She has established a clinic in Yoka, on the shores of Lake Sentani near Jayapura, and is involved in a program to prevent the spread of AIDS in West Papua while offering care to those who are infected.

The Uniting Church in Australia is actively offering support for this ministry through the provision of funds to cover operating costs and equipment.
Australian Government figures indicate the rate of HIV infection across West Papua is 18 times Indonesia’s national average. Recent tests among junior high school students in the highlands produced HIV rates as high as 45% of the group tested. Indeed, the impact of HIV/AIDS in West Papua is largely unknown. Its having a devastating impact on indigenous communities.

This massive issue is compounded by a lack of medical facilities, poor communication, a lack of awareness and a fear among many local people of  government health workers.

Agnella is enthusiastically accepted by local people. Her African background is big plus as Papuans relate to her warm, vibrant personality. They identify with the struggle and the aspirations of their African brothers and sisters.
Agnella says HIV positive people do have a future. With the correct diagnosis and the right drugs, people can live a quality of life for many years. With extensive education, people can be made aware of the dangers and take adequate precautions.

Agnella is offering hope to people hit hard by HIV/AIDS in West Papua. Lives are being saved. Quality of life is being improved. The clinic in Yoka is a model for further developments under the Department of Diakoinia in the Evangelical Christian Church in the Land of Papua.
Today, December 1st,  is World AIDS Day. On this day remember Agnella and others who are making a real difference!
Give gifts that enable marginalised communities in West Papua to build sustainable livelihoods this Christmas via Everything in Common

1DARI 3 ORANG TERINFEKSI HIV MENGALAMI STIGMA DAN DISKRIMINASI DILINGKUNGANNYA


Pentingnya pendidikan sebagai dasar utama pencegahan HIV menyebabkan semakin besarnya kebutuhan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan. Pada tahun 2000, sebuah terminologi baru di dalam pendidikan diperkenalkan, yaitu ‘education vaccine’. Pendidikan dilihat sebagai ujung tombak upaya pencegahan penyebaran HIV (World Bank, 2002; Boler Tania and Kate Carroll, undated; Vandemoortele, Jan and Enrique Delamonica, 2000). Namun, fakta menunjukkan hal yang menyedihkan. Walaupun pendidikan dipercaya bisa mengurangi HIV, banyak ODHA terpaksa harus mengurangi bahkan berhenti menjalani pendidikannya karena HIV dan AIDS. Secara global , HIV dan AIDS dipandang sebagai tantangan yang sangat besar dalam sektor pendidikan yang masih merupakan salah satu faktor penghambat pencapaian MDG untuk pendidikan bagi semua pada tahun 2015. (UNESCO, 2001; Wijngaarden Jan and Sheldon Shaeffer, 2004).
HIV dan AIDS memberikan dampak negatif terhadap akses dan kualitas pendidikan yang mungkin didapatkan oleh seorang anak. Sering kali anak-anak dari rumah tangga ODHA terpaksa untuk mangkir dari sekolah untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga atau untuk ikut membantu merawat anggota keluarga yang sakit. Biaya untuk pendidikan anak sering juga dikorbankan untuk pemenuhan kebutuhan pengobatan dan perawatan anggota keluarga yang sakit. Dari segi kualitas, selain anak tidak bisa berkonsentrasi sekolah karena permasalahan dan kondisi yang dia alami, sering juga anak harus menghadapi kondisi tidak nyaman karena masih besarnya stigma di masyarakat terkait infeksi HIV yang diderita salah seorang anggota keluarganya.
Survei Dampak Sosial Ekonomi Pada Individu dan Rumah Tangga Dengan HIV di 7 provinsi di Indonesia tahun 2009 yang dilakukan oleh BPS dan JOTHI, dimana 996 rumah tangga (Ruta) dengan salah satu atau lebih anggota rumah tangganya (ART) terinfeksi HIV dan 996 ruta tanpa orang terinfeksi HIV sebagai ruta kontrol berpartipasi, menunjukan adanya dampak nyata HIV terhadap pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah, dimana persentase anggota rumah tangga kelompok umur 13-15 Thn (Setingkat SLTP), 16-18 Thn (SLTA) dan 19-24 Thn (Perguruan Tinggi) di Rumah Tangga Dengan HIV jauh lebih rendah dibanding Rumah Tangga Non-HIV.
Jurang perbedaan persentase partisipasi sekolah antara rumah tangga dengan HIV dan Non-HIV semakin lebar seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada disamping dimana persentase perbedaan partisipasi sekolah antara rumah tangga dengan HIV dan Non-HIV pada tingkat SLTP adalah 10% meningkat menjadi 19% pada tingkat SLTA dan 50% pada pendidikan yang lebih tinggi dari SLTA. Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak-anak dari rumah tangga Non-ODHA cenderung memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dari pada keluarga ODHA. Padahal tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan kualitas hidup, makin tinggi pendidikan seseorang maka idealnya makin berkualitas hidupnya karena pengetahuan dan wawasan luas yang dimilikinya.
Keberadaan anggota rumah tangga yang terinfeksi HIV sedikit banyak telah mempengaruhi kemampuan ekonomi rumah tangga, akhirnya mungkin anak-anak usia sekolah menjadi putus sekolah karena orangtua mereka tidak mampu membayar biaya sekolah mereka sebagai akibat menurunnya pendapatan keluarga atau pengeluaran kesehatan yang meningkat. Anak-anak, terutama perempuan, dapat ditarik keluar dari sekolah untuk merawat orang sakit anggota keluarga atau untuk menambah pendapatan keluarga.
Selain berdampak pada tingginya angka putus sekolah, infeksi HIV juga berdampak pada rendahnya tingkat kehadiran anak di sekolah. Persentase anak yang sering bolos sekolah dari anggota rumah tangga yang masih sekolah di rumah tangga dengan HIV jauh lebih tinggi (17%) dibanding rumah tangga Non-HIV (7%). Pengalaman pernah tidak naik kelas dari anak yang masih sekolah pada rumah tangga dengan HIV (16%) juga lebih tinggi dibanding rumah tangga Non-HIV. Hal ini bisa saja berkaitan dengan tingkat sering tidak masuk sekolah yang lebih tinggi pada rumah tangga dengan HIV. Selain itu, pengalaman pindah sekolah pada anak usia yang masih sekolah dari rumah tangga dengan HIV (16%) lebih dari 2 kali lipat dari rumah tangga Non-HIV (7%).
Semoga situasi ini sudah mendapat perhatian para pemangku kebijakan di negara tercinta ini, dimana dengan anggaran pendidikan yang 20% dari APBN seharusnya pendidikan anggota keluarga dari rumah tangga dengan HIV juga lebih diperhatikan.

ADOH 1 DARI 2 SISWA SLTA DI KAB. MIMIKA PERNAH BERHUBUNGAN SEKS


Hampir semua responden Survei Perilaku Siswa SLTA di Kabupaten Mimika pernah mendengar tentang HIV dan AIDS, dan juga pernah mengikuti berbagai penyuluhan terkait program pengendalian HIV di sekolahnya. Hal ini sejalan dengan hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan para guru yang intinya menyatakan bahwa penyuluhan HIV sudah cukup intensif dilakukan dilingkungan sekolah. Selain itu, Guru juga merupakan sumber informasi tentang HIV dan AIDS yang paling banyak disebutkan oleh responden. Temuan ini berbeda dengan hasil survei perilaku pada siswa SLTA di 6 kota lainnya (Yogyakarta, Tangerang, Pontianak, Samarinda, Jakarta dan Surabaya) yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada tahun 2007-2009, dimana televisi merupakan sumber informasi yang paling sering disebutkan oleh respondennya.
Program penyuluhan terbukti mampu memberikan pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap tingkat pengetahuan komprehensif tentang cara penularan dan pencegahan HIV. Hal ini dibuktikan oleh rasio odds 10.1 dengan 95% CI 3.2 – 32.2 dan nilai p <0.01 yang bisa diartikan bahwa responden yang pernah mengikuti program penyuluhan 10 kali lebih mungkin untuk memiliki pengetahuan komprehensif. Walaupun demikian 1 dari 2 responden masih memiliki pemahaman yang keliru tentang cara pencegahan dan penularan HIV.
Banyaknya responden yang memiliki pemahaman keliru tentang cara penularan dan pencegahan HIV, sedikit banyak berkontribusi pada tingginya perilaku stigma pada ODHA yang mencapai 35% responden. Indikasi hubungan atau pengaruh tingkat pengetahuan komprehensif dengan perilaku stigma ditunjukan oleh hasil analisis regresi yang signifikan secara statistik (Rasio Odd 2.4; 95% CI 1.3 – 4.4; nilai p = 0.008). Persentase perilaku stigma tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil survei perilaku di 6 kota lainnya yang berkisar antara 28% - 49%.
Persentase responden Survei Perilaku Siswa SLTA di Kabupaten Mimika yang mengaku pernah berhubungan seks (26%) 2.5 – 9 kali lebih tinggi dibanding hasil survei perilaku pada siswa SLTA di 6 kota lainnya yang berkisar antara 3% (Tanggerang) - 11% (Surabaya). Apalagi jika dibandingkan dengan persentase responden etnis/suku Papua yang pernah berhubungan seks (41%) maka perbedaannya menjadi yaitu 4 – 12 kali lebih tinggi. Selain itu, 1 dari 2 reponden yang mengaku pernah berhubungan seks juga mengaku melakukannya dengan lebih dari 1 pasangan seks dalam 1 tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa siswa SLTA pada umumnya dan siswa SLTA etnis/suku Papua di Kabupaten Mimika jauh lebih berisiko untuk terinfeksi HIV ataupun menghadapi masalah kesehatan reproduksi lainnya dibanding siswa SLTA di kota-kota lainnya dimana survei perilaku sejenis pernah dilakukan.
 Alasan berhubungan seks yang sering disebutkan oleh siswa SLTA laki-laki peserta FGD adalah karena ingin mencoba dan mengikuti teman sebaya, sehingga banyak juga diantaranya yang berhubungan seks dengan Wanita Pekerja Seks karena tidak mempunyai pacar atau pacarnya tidak mau diajak berhubungan seks. Sedangkan pada siswa SLTA perempuan peserta FGD, alasan yang diungkapkan cukup mencengangkan karena lebih banyak yang melakukan hubungan seks untuk mendapatkan uang dan melakukannya dengan laki-laki yang lebih tua usianya seperti Karyawan, Supir Taxi dan juga TNI/Polisi. Temuan ini perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak karena risiko terinfeksi HIV perempuan muda yang berhubungan seks dengan laki-laki yang jauh lebih tua menjadi jauh lebih tinggi dibanding dengan laki-laki sebaya.
Alasan berhubungan seks responden survei perilaku siswa SLTA laki-laki di Kabupaten Mimika sejalan dengan temuan dari Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) yang dilakukan Badan Pusat Statistik tahun 2007, dimana alasan berhubungan seks 1 dari 2 laki-laki usia 15-24 tahun dan belum menikah adalah karena ingin tahu. Sedangkan alasan berhubungan seks responden perempuan berbeda dengan hasil SKRRI, dimana pada responden SKRRI alasan sebagian besar responden perempuan berhubungan seks adalah karena terjadi begitu saja (38%) dan karena dipaksa oleh pasangannya (21%).
Beberapa faktor yang mempengaruhi riwayat hubungan seks responden Survei Perilaku Siswa SLTA di Kabupaten Mimika adalah riwayat menonton adegan/film porno, status tinggal dengan orang tua, serta pengetahuan komprehensif tentang cara pencegahan dan penularan HIV. Hasil survei kuantitatif tersebut didukung dengan temuan dari FGD dengan siswa/siswi SLTA yang menyatakan sering melakukan hubungan seks sambil atau setelah menonton film porno dan tempat melakukan hubungan seks yang paling sering adalah tempat kos yang diistilahkan dengan “Mabes”.

Konsistensi penggunaan kondom dalam hubungan seks 1 tahun terakhir dari responden masih sangat rendah, dimana alasan yang paling sering diungkapkan untuk tidak menggunakan kondom adalah karena sayang/cinta pasangannya dan malu untuk membeli kondom. Walaupun demikian jika dibandingkan dengan hasil survei perilaku pada siswa SLTA di 6 kota lainnya (3%-18%), tingkat konsistensi penggunaan kondom dalam hubungan seks 1 tahun terakhir siswa SLTA di Kabupaten Mimika termasuk kedalam kelompok yang tinggi.
Rendahnya tingkat penggunaan kondom dan tingginya frekuensi hubungan seks responden Survei Perilaku Siswa SLTA di Kabupaten Mimika menyebabkan tingginya tingkat kehamilan yang tidak diinginkan dari responden perempuan maupun pasangan responden laki-laki. Persentase responden perempuan yang pernah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan tersebut bahkan hingga hampir 10 kali lebih tinggi dibanding hasil SKRRI pada perempuan usia 15-24 tahun yang belum menikah.
Analisis regresi berganda beberapa variabel yang diduga berpengaruh terhadap kehamilan yang tidak diinginkan seperti status tinggal dengan orang tua, pengetahuan komprehensif tentang cara penularan dan pencegahan HIV, cakupan program penyuluhan dan suku/etnis orang tua menunjukan bahwa hanya suku/etnis yang berpengaruh secara statistik. Responden atau pasangan responden suku/etnis Papua yang pernah berhubungan seks 2 – 8.5 kali lebih mungkin hamil dibanding responden Non-Papua (Rasio Odd 4.3; 95% CI 2.1 – 8.5; nilai p < 0.001). Bahkan responden atau pasangan responden suku/etnis Papua yang hamil 8 kali lebih banyak yang meneruskan kehamilannya hingga melahirkan dibanding responden Non-Papua, yang juga berarti lebih banyak responden suku/etnis Papua yang terpaksa tidak melanjutkan sekolahnya akibat hamil karena dari hasil FGD dengan para guru diketahui bahwa sekolah akan mengeluarkan siswi yang hamil.
Perilaku berisiko lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan penularan HIV tetapi cukup banyak dilakukan oleh siswa SLTA di Kabupaten Mimika adalah mabuk karena minum minuman beralkohol dan mengkonsumsi Napza lainnya. Perilaku tersebut sangat di pengaruhi oleh perilaku merokok responden.
Laporan lengkapnya bisa diakses melalui link dibawah ini

Sumber: