Tampilkan postingan dengan label ATIKEL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ATIKEL. Tampilkan semua postingan
Apa itu Adiksi?
TES HIV
Apakah IMS itu ?
World AIDS Day – Making a difference in West Papua
By John Barr
Agnella is a very determined person. Her passion is to save lives and to facilitate a quality of life for others who are HIV/AIDS positive.

The Uniting Church in Australia is actively offering support for this ministry through the provision of funds to cover operating costs and equipment.
Australian Government figures indicate the rate of HIV infection across West Papua is 18 times Indonesia’s national average. Recent tests among junior high school students in the highlands produced HIV rates as high as 45% of the group tested. Indeed, the impact of HIV/AIDS in West Papua is largely unknown. Its having a devastating impact on indigenous communities.
This massive issue is compounded by a lack of medical facilities, poor communication, a lack of awareness and a fear among many local people of government health workers.
Agnella is enthusiastically accepted by local people. Her African background is big plus as Papuans relate to her warm, vibrant personality. They identify with the struggle and the aspirations of their African brothers and sisters.
Agnella says HIV positive people do have a future. With the correct diagnosis and the right drugs, people can live a quality of life for many years. With extensive education, people can be made aware of the dangers and take adequate precautions.
Agnella is offering hope to people hit hard by HIV/AIDS in West Papua. Lives are being saved. Quality of life is being improved. The clinic in Yoka is a model for further developments under the Department of Diakoinia in the Evangelical Christian Church in the Land of Papua.
Today, December 1st, is World AIDS Day. On this day remember Agnella and others who are making a real difference!
Give gifts that enable marginalised communities in West Papua to build sustainable livelihoods this Christmas via Everything in Common
1DARI 3 ORANG TERINFEKSI HIV MENGALAMI STIGMA DAN DISKRIMINASI DILINGKUNGANNYA
Pentingnya pendidikan sebagai dasar
utama pencegahan HIV menyebabkan semakin besarnya kebutuhan untuk meningkatkan akses
masyarakat terhadap pendidikan. Pada tahun 2000, sebuah terminologi baru di dalam
pendidikan diperkenalkan, yaitu ‘education vaccine’. Pendidikan dilihat sebagai
ujung tombak upaya pencegahan penyebaran HIV (World Bank, 2002; Boler Tania and
Kate Carroll, undated; Vandemoortele, Jan and Enrique Delamonica, 2000). Namun,
fakta menunjukkan hal yang menyedihkan. Walaupun pendidikan dipercaya bisa mengurangi
HIV, banyak ODHA terpaksa harus mengurangi bahkan berhenti menjalani pendidikannya
karena HIV dan AIDS. Secara global , HIV dan AIDS dipandang sebagai tantangan yang
sangat besar dalam sektor pendidikan yang masih merupakan salah satu faktor penghambat
pencapaian MDG untuk pendidikan bagi semua pada tahun 2015. (UNESCO, 2001; Wijngaarden
Jan and Sheldon Shaeffer, 2004).
HIV dan AIDS memberikan dampak negatif terhadap
akses dan kualitas pendidikan yang mungkin didapatkan oleh seorang anak. Sering
kali anak-anak dari rumah tangga ODHA terpaksa untuk mangkir dari sekolah untuk
membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga atau untuk ikut membantu merawat anggota
keluarga yang sakit. Biaya untuk pendidikan anak sering juga dikorbankan untuk pemenuhan
kebutuhan pengobatan dan perawatan anggota keluarga yang sakit. Dari segi kualitas,
selain anak tidak bisa berkonsentrasi sekolah karena permasalahan dan kondisi yang
dia alami, sering juga anak harus menghadapi kondisi tidak nyaman karena masih besarnya
stigma di masyarakat terkait infeksi HIV yang diderita salah seorang anggota keluarganya.
Survei Dampak Sosial Ekonomi Pada Individu dan Rumah Tangga Dengan
HIV di 7 provinsi di Indonesia tahun 2009 yang dilakukan oleh BPS dan JOTHI, dimana
996 rumah tangga (Ruta) dengan salah satu atau lebih anggota rumah tangganya (ART)
terinfeksi HIV dan 996 ruta tanpa orang terinfeksi HIV sebagai ruta kontrol berpartipasi,
menunjukan adanya dampak nyata HIV terhadap pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada
tabel dibawah, dimana persentase anggota rumah tangga kelompok umur 13-15 Thn (Setingkat
SLTP), 16-18 Thn (SLTA) dan 19-24 Thn (Perguruan Tinggi) di Rumah Tangga Dengan
HIV jauh lebih rendah dibanding Rumah Tangga Non-HIV.
Jurang perbedaan persentase partisipasi
sekolah antara rumah tangga dengan HIV dan Non-HIV semakin lebar seiring dengan
semakin tingginya tingkat pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada disamping dimana
persentase perbedaan partisipasi sekolah antara rumah tangga dengan
HIV dan Non-HIV pada tingkat SLTP adalah 10% meningkat menjadi 19% pada tingkat
SLTA dan 50% pada pendidikan yang lebih tinggi dari SLTA. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa anak-anak dari rumah tangga Non-ODHA cenderung memiliki tingkat pendidikan
lebih tinggi dari pada keluarga ODHA. Padahal tingkat pendidikan berkorelasi positif
dengan kualitas hidup, makin tinggi pendidikan seseorang maka idealnya makin berkualitas
hidupnya karena pengetahuan dan wawasan luas yang dimilikinya.
Keberadaan anggota rumah tangga yang terinfeksi
HIV sedikit banyak telah mempengaruhi kemampuan ekonomi rumah tangga, akhirnya mungkin
anak-anak usia sekolah menjadi putus sekolah karena orangtua mereka tidak mampu
membayar biaya sekolah mereka sebagai akibat menurunnya pendapatan keluarga atau
pengeluaran kesehatan yang meningkat. Anak-anak, terutama perempuan, dapat ditarik
keluar dari sekolah untuk merawat orang sakit anggota keluarga atau untuk menambah
pendapatan keluarga.
Selain berdampak pada tingginya angka putus sekolah,
infeksi HIV juga berdampak pada rendahnya tingkat kehadiran anak di sekolah. Persentase
anak yang sering bolos sekolah dari anggota rumah tangga yang masih sekolah di rumah
tangga dengan HIV jauh lebih tinggi (17%) dibanding rumah tangga Non-HIV (7%). Pengalaman
pernah tidak naik kelas dari anak yang masih sekolah pada rumah tangga dengan HIV
(16%) juga lebih tinggi dibanding rumah tangga Non-HIV. Hal ini bisa saja berkaitan
dengan tingkat sering tidak masuk sekolah yang lebih tinggi pada rumah tangga dengan
HIV. Selain itu, pengalaman pindah sekolah pada anak usia yang masih sekolah dari
rumah tangga dengan HIV (16%) lebih dari 2 kali lipat dari rumah tangga Non-HIV
(7%).
Semoga situasi ini sudah mendapat perhatian para pemangku kebijakan
di negara tercinta ini, dimana dengan anggaran pendidikan yang 20% dari APBN seharusnya
pendidikan anggota keluarga dari rumah tangga dengan HIV juga lebih diperhatikan.
ADOH 1 DARI 2 SISWA SLTA DI KAB. MIMIKA PERNAH BERHUBUNGAN SEKS
Hampir semua responden Survei Perilaku
Siswa SLTA di Kabupaten Mimika pernah mendengar tentang HIV dan AIDS, dan juga pernah
mengikuti berbagai penyuluhan terkait program pengendalian HIV di sekolahnya. Hal
ini sejalan dengan hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan para guru yang intinya
menyatakan bahwa penyuluhan HIV sudah cukup intensif dilakukan dilingkungan sekolah.
Selain itu, Guru juga merupakan sumber informasi tentang HIV dan AIDS yang paling
banyak disebutkan oleh responden. Temuan ini berbeda dengan hasil survei perilaku
pada siswa SLTA di 6 kota lainnya (Yogyakarta, Tangerang, Pontianak, Samarinda,
Jakarta dan Surabaya) yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada tahun 2007-2009,
dimana televisi merupakan sumber informasi yang paling sering disebutkan oleh respondennya.
Program penyuluhan terbukti mampu
memberikan pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap tingkat pengetahuan
komprehensif tentang cara penularan dan pencegahan HIV. Hal ini dibuktikan oleh
rasio odds 10.1 dengan 95% CI 3.2 – 32.2 dan nilai p <0.01 yang bisa diartikan
bahwa responden yang pernah mengikuti program penyuluhan 10 kali lebih mungkin untuk
memiliki pengetahuan komprehensif. Walaupun demikian 1 dari 2 responden masih memiliki
pemahaman yang keliru tentang cara pencegahan dan penularan HIV.
Banyaknya responden yang memiliki
pemahaman keliru tentang cara penularan dan pencegahan HIV, sedikit banyak berkontribusi
pada tingginya perilaku stigma pada ODHA yang mencapai 35% responden. Indikasi hubungan
atau pengaruh tingkat pengetahuan komprehensif dengan perilaku stigma ditunjukan
oleh hasil analisis regresi yang signifikan secara statistik (Rasio Odd 2.4; 95%
CI 1.3 – 4.4; nilai p = 0.008). Persentase perilaku stigma tersebut tidak jauh berbeda
dengan hasil survei perilaku di 6 kota lainnya yang berkisar antara 28% - 49%.
Persentase responden Survei Perilaku
Siswa SLTA di Kabupaten Mimika yang mengaku pernah berhubungan seks (26%) 2.5 –
9 kali lebih tinggi dibanding hasil survei perilaku pada siswa SLTA di 6 kota lainnya
yang berkisar antara 3% (Tanggerang) - 11% (Surabaya). Apalagi jika dibandingkan
dengan persentase responden etnis/suku Papua yang pernah berhubungan seks (41%)
maka perbedaannya menjadi yaitu 4 – 12 kali lebih tinggi. Selain itu, 1 dari 2 reponden
yang mengaku pernah berhubungan seks juga mengaku melakukannya dengan lebih dari
1 pasangan seks dalam 1 tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa siswa SLTA
pada umumnya dan siswa SLTA etnis/suku Papua di Kabupaten Mimika jauh lebih berisiko
untuk terinfeksi HIV ataupun menghadapi masalah kesehatan reproduksi lainnya dibanding
siswa SLTA di kota-kota lainnya dimana survei perilaku sejenis pernah dilakukan.
Alasan berhubungan seks yang sering
disebutkan oleh siswa SLTA laki-laki peserta FGD adalah karena ingin mencoba dan
mengikuti teman sebaya, sehingga banyak juga diantaranya yang berhubungan seks dengan
Wanita Pekerja Seks karena tidak mempunyai pacar atau pacarnya tidak mau diajak
berhubungan seks. Sedangkan pada siswa SLTA perempuan peserta FGD, alasan yang diungkapkan
cukup mencengangkan karena lebih banyak yang melakukan hubungan seks untuk mendapatkan
uang dan melakukannya dengan laki-laki yang lebih tua usianya seperti Karyawan,
Supir Taxi dan juga TNI/Polisi. Temuan ini perlu mendapat perhatian yang serius
dari semua pihak karena risiko terinfeksi HIV perempuan muda yang berhubungan seks
dengan laki-laki yang jauh lebih tua menjadi jauh lebih tinggi dibanding dengan
laki-laki sebaya.
Alasan berhubungan seks responden
survei perilaku siswa SLTA laki-laki di Kabupaten Mimika sejalan dengan temuan dari
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) yang dilakukan Badan Pusat
Statistik tahun 2007, dimana alasan berhubungan seks 1 dari 2 laki-laki usia 15-24
tahun dan belum menikah adalah karena ingin tahu. Sedangkan alasan berhubungan seks
responden perempuan berbeda dengan hasil SKRRI, dimana pada responden SKRRI alasan
sebagian besar responden perempuan berhubungan seks adalah karena terjadi begitu
saja (38%) dan karena dipaksa oleh pasangannya (21%).
Beberapa faktor yang mempengaruhi
riwayat hubungan seks responden Survei Perilaku Siswa SLTA di Kabupaten Mimika adalah
riwayat menonton adegan/film porno, status tinggal dengan orang tua, serta pengetahuan
komprehensif tentang cara pencegahan dan penularan HIV. Hasil survei kuantitatif
tersebut didukung dengan temuan dari FGD dengan siswa/siswi SLTA yang menyatakan
sering melakukan hubungan seks sambil atau setelah menonton film porno dan tempat
melakukan hubungan seks yang paling sering adalah tempat kos yang diistilahkan dengan
“Mabes”.
Konsistensi penggunaan kondom
dalam hubungan seks 1 tahun terakhir dari responden masih sangat rendah, dimana
alasan yang paling sering diungkapkan untuk tidak menggunakan kondom adalah karena
sayang/cinta pasangannya dan malu untuk membeli kondom. Walaupun demikian jika dibandingkan
dengan hasil survei perilaku pada siswa SLTA di 6 kota lainnya (3%-18%), tingkat
konsistensi penggunaan kondom dalam hubungan seks 1 tahun terakhir siswa SLTA di
Kabupaten Mimika termasuk kedalam kelompok yang tinggi.
Rendahnya tingkat penggunaan kondom
dan tingginya frekuensi hubungan seks responden Survei Perilaku Siswa SLTA di Kabupaten
Mimika menyebabkan tingginya tingkat kehamilan yang tidak diinginkan dari responden
perempuan maupun pasangan responden laki-laki. Persentase responden perempuan yang
pernah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan tersebut bahkan hingga hampir 10
kali lebih tinggi dibanding hasil SKRRI pada perempuan usia 15-24 tahun yang belum
menikah.
Analisis regresi berganda beberapa
variabel yang diduga berpengaruh terhadap kehamilan yang tidak diinginkan seperti
status tinggal dengan orang tua, pengetahuan komprehensif tentang cara penularan
dan pencegahan HIV, cakupan program penyuluhan dan suku/etnis orang tua menunjukan
bahwa hanya suku/etnis yang berpengaruh secara statistik. Responden atau pasangan
responden suku/etnis Papua yang pernah berhubungan seks 2 – 8.5 kali lebih mungkin
hamil dibanding responden Non-Papua (Rasio Odd 4.3; 95% CI 2.1 – 8.5; nilai p <
0.001). Bahkan responden atau pasangan responden suku/etnis Papua yang hamil 8 kali
lebih banyak yang meneruskan kehamilannya hingga melahirkan dibanding responden
Non-Papua, yang juga berarti lebih banyak responden suku/etnis Papua yang terpaksa
tidak melanjutkan sekolahnya akibat hamil karena dari hasil FGD dengan para guru
diketahui bahwa sekolah akan mengeluarkan siswi yang hamil.
Perilaku berisiko lainnya yang
tidak berhubungan langsung dengan penularan HIV tetapi cukup banyak dilakukan oleh
siswa SLTA di Kabupaten Mimika adalah mabuk karena minum minuman beralkohol dan
mengkonsumsi Napza lainnya. Perilaku tersebut sangat di pengaruhi oleh perilaku
merokok responden.
Laporan lengkapnya bisa diakses
melalui link dibawah ini
Sumber:
Langganan:
Postingan (Atom)