Pentingnya pendidikan sebagai dasar
utama pencegahan HIV menyebabkan semakin besarnya kebutuhan untuk meningkatkan akses
masyarakat terhadap pendidikan. Pada tahun 2000, sebuah terminologi baru di dalam
pendidikan diperkenalkan, yaitu ‘education vaccine’. Pendidikan dilihat sebagai
ujung tombak upaya pencegahan penyebaran HIV (World Bank, 2002; Boler Tania and
Kate Carroll, undated; Vandemoortele, Jan and Enrique Delamonica, 2000). Namun,
fakta menunjukkan hal yang menyedihkan. Walaupun pendidikan dipercaya bisa mengurangi
HIV, banyak ODHA terpaksa harus mengurangi bahkan berhenti menjalani pendidikannya
karena HIV dan AIDS. Secara global , HIV dan AIDS dipandang sebagai tantangan yang
sangat besar dalam sektor pendidikan yang masih merupakan salah satu faktor penghambat
pencapaian MDG untuk pendidikan bagi semua pada tahun 2015. (UNESCO, 2001; Wijngaarden
Jan and Sheldon Shaeffer, 2004).
HIV dan AIDS memberikan dampak negatif terhadap
akses dan kualitas pendidikan yang mungkin didapatkan oleh seorang anak. Sering
kali anak-anak dari rumah tangga ODHA terpaksa untuk mangkir dari sekolah untuk
membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga atau untuk ikut membantu merawat anggota
keluarga yang sakit. Biaya untuk pendidikan anak sering juga dikorbankan untuk pemenuhan
kebutuhan pengobatan dan perawatan anggota keluarga yang sakit. Dari segi kualitas,
selain anak tidak bisa berkonsentrasi sekolah karena permasalahan dan kondisi yang
dia alami, sering juga anak harus menghadapi kondisi tidak nyaman karena masih besarnya
stigma di masyarakat terkait infeksi HIV yang diderita salah seorang anggota keluarganya.
Survei Dampak Sosial Ekonomi Pada Individu dan Rumah Tangga Dengan
HIV di 7 provinsi di Indonesia tahun 2009 yang dilakukan oleh BPS dan JOTHI, dimana
996 rumah tangga (Ruta) dengan salah satu atau lebih anggota rumah tangganya (ART)
terinfeksi HIV dan 996 ruta tanpa orang terinfeksi HIV sebagai ruta kontrol berpartipasi,
menunjukan adanya dampak nyata HIV terhadap pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada
tabel dibawah, dimana persentase anggota rumah tangga kelompok umur 13-15 Thn (Setingkat
SLTP), 16-18 Thn (SLTA) dan 19-24 Thn (Perguruan Tinggi) di Rumah Tangga Dengan
HIV jauh lebih rendah dibanding Rumah Tangga Non-HIV.
Jurang perbedaan persentase partisipasi
sekolah antara rumah tangga dengan HIV dan Non-HIV semakin lebar seiring dengan
semakin tingginya tingkat pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada disamping dimana
persentase perbedaan partisipasi sekolah antara rumah tangga dengan
HIV dan Non-HIV pada tingkat SLTP adalah 10% meningkat menjadi 19% pada tingkat
SLTA dan 50% pada pendidikan yang lebih tinggi dari SLTA. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa anak-anak dari rumah tangga Non-ODHA cenderung memiliki tingkat pendidikan
lebih tinggi dari pada keluarga ODHA. Padahal tingkat pendidikan berkorelasi positif
dengan kualitas hidup, makin tinggi pendidikan seseorang maka idealnya makin berkualitas
hidupnya karena pengetahuan dan wawasan luas yang dimilikinya.
Keberadaan anggota rumah tangga yang terinfeksi
HIV sedikit banyak telah mempengaruhi kemampuan ekonomi rumah tangga, akhirnya mungkin
anak-anak usia sekolah menjadi putus sekolah karena orangtua mereka tidak mampu
membayar biaya sekolah mereka sebagai akibat menurunnya pendapatan keluarga atau
pengeluaran kesehatan yang meningkat. Anak-anak, terutama perempuan, dapat ditarik
keluar dari sekolah untuk merawat orang sakit anggota keluarga atau untuk menambah
pendapatan keluarga.
Selain berdampak pada tingginya angka putus sekolah,
infeksi HIV juga berdampak pada rendahnya tingkat kehadiran anak di sekolah. Persentase
anak yang sering bolos sekolah dari anggota rumah tangga yang masih sekolah di rumah
tangga dengan HIV jauh lebih tinggi (17%) dibanding rumah tangga Non-HIV (7%). Pengalaman
pernah tidak naik kelas dari anak yang masih sekolah pada rumah tangga dengan HIV
(16%) juga lebih tinggi dibanding rumah tangga Non-HIV. Hal ini bisa saja berkaitan
dengan tingkat sering tidak masuk sekolah yang lebih tinggi pada rumah tangga dengan
HIV. Selain itu, pengalaman pindah sekolah pada anak usia yang masih sekolah dari
rumah tangga dengan HIV (16%) lebih dari 2 kali lipat dari rumah tangga Non-HIV
(7%).
Semoga situasi ini sudah mendapat perhatian para pemangku kebijakan
di negara tercinta ini, dimana dengan anggaran pendidikan yang 20% dari APBN seharusnya
pendidikan anggota keluarga dari rumah tangga dengan HIV juga lebih diperhatikan.