PB IDI menyatakan bahwa kondom adalah alat kesehatan yang mampu mencegah penularan infeksi menular seksual (termasuk HIV) bila digunakan pada setiap kegiatan seks berisiko -- Hindari diskriminasi dan stigmatisasi pada orang rawan dan orang yang telah terkena HIV

Seminar & Capacity Building

Seminar & Capacity Building:  BUILDING HIV AND AIDS COMPETENT COMUNITY Kerjasama CCA Dan GKI TP diselenggarakan di Jayapura tanggal 9 -13 februari 2012 bertempat di Hotel Green Abepura.

Para pembicara yang hadir dari dalam dan luar negeri

Bpk. Pdt. Albert Yoku STh, Ketua Sinode GKI Di Tanah Papua
sedang memberikan Pengarahan

Para Peserta yang mengikuti kegitan berpose bersama.

Mereka yang terlibat penuh dalam pekerjaan HIV AIDS

Secara Politik DPRP Dukung Cegah HIV/AIDS


Ketua Komisi E DPR Papua, Drs. Max Mirino mengatakan persoalan HIV/AIDS di Papua selalu menjadi perhatian mereka dan melakukan komunikasi yang intens dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). Komunikasi juga dengan stake holder lainnya termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang HIV/AIDS.
“Bahkan secara politik DPR telah melakukan perlindungan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA),”tutur Mirino kepada tabloijdubi.com di Jayapura Kamis(26/1). 

Dia menambahkan secara politik, DPR telah melakukan komunikasi guna melindungi mereka yang terkena HIV/AIDS.
Langkah-langkah perlindungan itu, lanjut dia berupa tindakan preventif bagi mereka yang sudah kena HIV/AIDS dan langkah kedua dengan memberi dukungan dalam hal hubungan dengan pemerintah dan pegiat LSM peduli HIV/AIDS.
Dia berharap pegiat LSM dapat mengendalikan HIV/AIDS di Tanah Papua dengan kerja sama terpadu bersama lembaga legislativ. Menyangkut Peraturan Daerah (Perda) HIV/AIDS kata Max Mirino Perda-Perda tersebut didorong oleh DPR sebagai keputusan politik untuk ditindaklanjuti oleh stake holder (pemangku kepentingan) dan masyarakat.
“Secara politik DPRP mendukung semua langkah yang kongkrit,” tutur Max Mirino. 

Bahkan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) kata Mirino, tidak boleh ada diskriminasi untuk ODHA, karena bagaimanapun ODHA  punya hak untuk hidup. “Karena dalam kondisi demikian, ODHA harus tetap dilindungi,”tutur Mirino.
Koordinator Tim Assistensi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua, Drs. Th. Pasaribu secara terpisah mengatakan peranan DPRP belum cukup hanya dengan mensahkan sebuah  Perda HIV/AIDS. 

“DPRP harus lebih kongkrit dan lebih keras bicara kepada pemerintah dan masyarakat bahwa Papua ada dalam ancaman bahaya HIV,” ujar Pasaribu via short massage system (SM), Kamis, (26/1). Untuk itu kata mantan Kepala Biro Organisasi dan Tatalaksana (Ortal) Setda Provinsi Papua ini setiap pimpinan daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota harus secara jelas memasukan penanggulangan HIV/AIDS dalam kebijakan dan program daerah masing-masing. Pasaribu berharap dengan kebijakan tersebut masyarakat juga peduli dengan masalah ini. 

“Bahkan dalam setiap kunjungan kerja (DPRP), jangan lupa membicarakan ini (HIV/AIDS),” saran mantan Sekretaris Daerah Kota Jayapura kepada media ini.

Six years of HIV & AIDS Program in UEM Asia Region

By: Dr. Alphinus Kambodji

For six years Dr. Alphinus Kambodji has worked for UEM in the Asia Region and developed the HIV and Aids work there. Here is his report:
I joined UEM in January 1, 2005, and I will finish my contract on December 31, 2010 as a UEM Consultant on Anti AIDS Program in Asia Region. 
In the begining of my work, I started visiting all UEM member Churches in Asia in order to launch the campaign “Breaking the silence”. Furthermore the first year was used to map the realities of HIV & AIDS in Asia.  The meeting with the all Church leaders and responsible persons for Anti HIV and AIDS in UEM members was the necessity part in the beginning.
Then, I invited responsible persons for Anti HIV & AIDS Program of each Asian member churches to an APDIME (Assessment, Planning, Design, Implementing, Monitoring and Evaluation) Training. After this training, all churches developed their own HIV & AIDS Committee or Working Group. The next step was providing them with capacity building to implement their planned programs. UEM Anti AIDS Programme supports financially their efforts.
Under the coordination of UEM Anti HIV & AIDS Programme Coordinator in Wuppertal and later on in Asia Department, I also developed a network and partnership with government within the country, HIV/AIDS International agencies/local NGOs, as well as with other Mission organization such as Mission 21, EMS, CCA, and Asian Interfaith Network on AIDS (AINA), and Indonesian Interfaith Network on HIV/AIDS (INTERNA). We provide dsome training and supported each other by sharing funds, expertise and educational materials.
 Based on my experiences in dealing with HIV & AIDS program in UEM member churches, I learn that the best and meaningful way to prevent HIV and AIDS in a church & society is by mainstreaming this issues to the existing programs in the respective church i.e. youth, women, men, and in diakonia’s program. Beside that, working with Teological Seminaries is also an important opportunity to equip candicate of Pastors to understand the issue and to equip them with the necesssity knowledge for their present and future service in the church. Part of this is to raise their awareness on specific aspect of pastoral counseling and to reduce stigma and discrimintation to those living with HIV and AIDS.
In the meantime, I finally come up with an idea to develop a holistic approach in addressing HIV & AIDS in the churches and in their respective communities. In the middle of 2009, I proposed the concept of HOLISTIC (House Of Love for Information, Shelter, Treatment and Integrated Care) as a center based and community based approach on HIV and AIDS intervention, and piloting it in Indonesia. This holistic program is called “PONDOK KASIH” (House of Love). Pondok Kasih are already built in Pematang Siantar for three UEM members GKPS, GKPI and HKI, in Papua by GKI-TP, in Malang by GKJW and in Salatiga by GKJTU (Pastoral Counseling Center).
It is my humble prayer that what I have started in UEM to serve those who are marginalized and stigmatized in the Asian communities will be continued and enhanced to the glory of Jesus Christ. For, He has come also to embrace the HIV & AIDS infected and affected people.

Laboratorium


Walaupun Klinik Wali Hole tergolong kecil namun kelengkapan sarana dan prasarana laboratorium merupakan salah satu yang terlengkap di Papua.




Jangan ragu Untuk datang dan periksa status anda di Klinik Wali Hole.
Semua dilakukan oleh tenaga profesional dan tanpa pungutan biaya.

Seratusan Balita di Papua Positif HIV/AIDS

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Josef Rinta mengemukakan ada seratus lebih anak-anak usia bawah lima tahun di provinsi paling timur itu yang positif terinfeksi penyakit mematikan HIV/AIDS, yang mayoritas ditularkan sang ibu saat proses kelahiran.

"Data kita ada 116 Balita positif HIV/AIDS di Papua, yang terinfeksi saat proses kelahiran oleh ibunya," kata dia di Jayapura, Kamis (1/3).

Josef mengatakan, bayi dapat langsung terinfeksi HIV akibat kurangnya pemahaman ataupun sosialisasi pencegahan untuk ibu hamil yang sudah positif HIV kepada bayinya. Sebab, apabila sang ibu bisa mengetahuinya, akan dilakukan penanganan pihak medis terkait, sehingga bisa mengurangi risiko anak ikut tertular saat kelahiran.

"Kalau diketahui dan ditangani secara baik oleh medis, resiko bayi tidak tertular HIV/AIDS saat dilahirkan bisa mencapai 80 persen. Makanya kita selalu minta semua ibu hamil agar lakukan test HIV atau Volluntary Councelling Test (VCT)," ujarnya.

Menyinggung penanganan medis pada para balita yang masuk kategori Orang Dengan HIV/Aids (ODHA), dikatakan Josef, sama dengan ODHA umumnya, pihaknya terus melakukan pendampingan dan pengobatan secara berkesinambungan pada penderita.


Sumber: http://metrotvnews.com/read/news/2012/03/01/83594/Seratusan-Balita-di-Papua-Positif-HIV/AIDS/6

SUPPORT / DUKUNGAN


Kunjungan dari Jemaat merupakan Kekuatan Utama bagi pasien
Doa wujud kebersamaan dalam penderitaan


Mereka yang datang berkunjung selalu diberi informasi
dan berbagi dalam menggumuli bersama pekerjaan Tuhan di
Klinik Wali Hole.




Dapur Wali Hole

Dapu tempat mengelolah bahan makanan

Makanan Yang disajikan merupakan mkanan dengan gizi yang cukup

Bahan lokal yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien

Nutrisi Tambahan juga disediakan bagi Pasien


Ruang Makan tempat bertemu Pasien yang sudah mengalami pemulihan kesehatan

Bangsal Rawat Inap

Kamar tidur dengan sirkulasi udara baik.




Kebersihan dan Kerapian bagaikan di rumah sendiri.


LINK

PORTAL AIDS INDONESIA




KOMUNITAS AIDS INDONESIA


AANG SUTRISNA


BLOG AIDS INDONESIA


CHANEL AIDS INDONESIA


AIDS PRISON


AIDS Ikatan Dokter Indonesia IDI


AIDS DIVERSITY


AIDS IDU


FOGARTY FOR AIDS




MAILING LIST



AIDS INDONESIA

COUNSELLOR GROUP

GWL INDONESIA

HEALTH JOURNALIST

JANGKAR

KONSELOR VCT

KPA INDONESIA

NAPZA INDONESIA

TB HIV INDONESIA

WARTA AIDS


ONLINE INSTITUTE



INSTITUT AIDS UNDONESIA -INDONESIA AIDS INSTITUTE (E-LEARNING)


















World AIDS Day – Making a difference in West Papua


By John Barr


Agnella is a very determined person. Her passion is to save lives and to facilitate a quality of life for others who are HIV/AIDS positive.

Born and trained in Botswana, Agnella was recruited and placed to serve the community in West Papua by the German-based, United Evangelical Mission. She has established a clinic in Yoka, on the shores of Lake Sentani near Jayapura, and is involved in a program to prevent the spread of AIDS in West Papua while offering care to those who are infected.

The Uniting Church in Australia is actively offering support for this ministry through the provision of funds to cover operating costs and equipment.
Australian Government figures indicate the rate of HIV infection across West Papua is 18 times Indonesia’s national average. Recent tests among junior high school students in the highlands produced HIV rates as high as 45% of the group tested. Indeed, the impact of HIV/AIDS in West Papua is largely unknown. Its having a devastating impact on indigenous communities.

This massive issue is compounded by a lack of medical facilities, poor communication, a lack of awareness and a fear among many local people of  government health workers.

Agnella is enthusiastically accepted by local people. Her African background is big plus as Papuans relate to her warm, vibrant personality. They identify with the struggle and the aspirations of their African brothers and sisters.
Agnella says HIV positive people do have a future. With the correct diagnosis and the right drugs, people can live a quality of life for many years. With extensive education, people can be made aware of the dangers and take adequate precautions.

Agnella is offering hope to people hit hard by HIV/AIDS in West Papua. Lives are being saved. Quality of life is being improved. The clinic in Yoka is a model for further developments under the Department of Diakoinia in the Evangelical Christian Church in the Land of Papua.
Today, December 1st,  is World AIDS Day. On this day remember Agnella and others who are making a real difference!
Give gifts that enable marginalised communities in West Papua to build sustainable livelihoods this Christmas via Everything in Common

DONASI

Siapa KLINIK WALIHOLE? KLINIK WALIHOLE merupakan sebuah Klinik yang dibangun oleh GKI Di Tanah Papua yang bekerjasama  dengan Mitranya dikhususkan bagi Penderita HIV/ AIDS di Papua. Kehadiran Klinik ini diharapkan dapat berdampak luas bagi pelayanan kesehatan dan pemberian  dukungan kepada warga jemaat dan masyarakat luas yang terinfeksi HIV/AIDS di tanah Papua.

Klinik juga menyediakan tempat rawat inap serta pelayanan konseling pastoral sebagai wujud "Treatment, Care and Suport" atau Meningkatkan Kualitas Pengobatan, adanya kepedulian dan Dukungan. Dengan visi seperti itu maka pelayanan yang dilakukan secara professional dan penuh kasih sayang. 

Pada awal pembangunan dan pengembangan sepenuhnya menggunakan Dana dari Gereja dan Mitra serta pribadi-pribadi yang peduli terhadap misi KLINIK WALIHOLE.


Dalam rencana pengembangan di tahun 2012, Klinik Walihole akan mendirikan sebuah ruang rawat inap bagi Ibu dan Anak yang terinfeksi.


KLINIK WALIHOLE tidak menutup kemungkinan menerima sumbangan dalam bentuk bahan makanan serta kemungkinan untuk menerima dana dari donatur yang mempunyai misi dan visi dengan KLINIK WALIHOLE.  


Bahan makanan dapat diantar langsug ke: Klinok Walihole,  Kampung Yoka, Distrik Heram, Kota  Jayapura, atau dapat menhubungi langssung ke no HP. 0813 4436 9551.
Bila Donatur ingin memberikan donasinya dapat di kirimkan ke rekening sebagai berikut:

Nama Bank                      : MANDIRI
Cabang                            : ABEPURA
Nama Rekening                : KLINIK GKI WALIHOLE
Nomor Rekening              : 154 001 0769 424

Oleh karena itu langkah dan sikap yang diambil oleh KLINIK WALIHOLE sebagai sebuah konsekuensi bila menerima dana adalah tranparansi. Semua pihak dapat melihat proposal dan laporan keuangan dari KLINIK WALIHOLE.

Terimakasih kepada semua yang telah memberikan dukungan demi pelayanan dan pengembangan Klinik Walihole bagi sesama manusia.



Pengelola KLINIK WALIHOLE


Agnella Chingwaro (Pimpinan)
Rumboi Werimon (Sekretaris)


HIV COUNSELLING HANDBOOK FOR THE ASIA-PACIFIC


Deskripsi: The urgent need to help more adults and children, especially in vulnerable, marginalized communities, find out their HIV status and receive treatment is beyond question. But HIV testing–whether client- or provider-initiated–is more than simply uncovering HIV cases. The quality of counselling and respect for the right to opt out of testing, as well as support measures for coping with the results, are just as important. Counselling, before or after testing, should increase knowledge of HIV prevention and enhance primary health care and positive prevention, as well as curative care when positive status is confirmed. The quality of counselling also shows itself in the quality of referrals, follow-ups, treatment adherence, and care, including nutritional, psychosocial and medical support, such as cotrimoxazole prophylaxis, to sustain the well-being of adults and children living with HIV. 

This comprehensive HIV counsellors resource package answers the pressing need to improve the quality of counselling as countries step up their drive to contain the AIDS epidemic. Prepared over two years by WHO and UNICEF with technical assistance from the Family Health International Asia-Pacific Regional Office, it is designed to equip trainers, counsellors in training, and working counsellors in the Asia Pacific Region with essential skills and knowledge to deliver high-quality HIV testing and counselling services in a range of approaches and settings. The HIV counsellors handbook, trainer’s session plans, participatory learning activities, and HIV counsellor toolkit found here were updated from the Voluntary HIV Counselling and Testing Manual for Training of Trainers (2004) prepared jointly by the WHO South-East Asia Regional Office and the UNICEF East Asia and the Pacific Regional Office.


Unduh Disini:
http://www.unicef.org/eapro/HIV_handbook.pdf

Estimasi Nasional Infeksi HIV pada Orang Dewasa di Indonesia Tahun 2002


 Deskripsi: The HIV epidemic level in Indonesia is currently concentrated in a number of high risk subpopulations, and in the last few years its expansion has been largely driven by injecting drug use. Prison is considered as one of the concretrated most at risk populations. This is due to the convergence of a number of factors, including the high proportion of inmates who have been convicted for drug possession or use, the reported use of non-sterile needles (for drug use and tattooing). The severe overcrowding , which may cause unsafe sex among inmates, and also the minimal health services in prisons. 

An example of the problem can be seen in the province of DKI Jakarta.In 2006, some 60% to 65% of Jakarta inmates had been convicted on drug offenses and 72.5% were drug users. Figures on deaths in prisons reveal alarmingly high death rates among drug users: in four prisons in Jakarta, 90% of those who died were drug users. Nationwide, 70 to 75% of the 813 people who died in Indonesian prisons in 2006 had been convicted of drug offences, while approximately 29% of the total prison population in 2006 were serving sentences for drug-related crimes. The majority of deaths in prisons were due to respiratory infections, TB, hepatitis and chronic diarrhea, all of which maybe associated with the HIV infection. However, the prison system's capacity to deal with such health issues is very limited. As an example, the number of people incarcerated in Jakarta prisons rose from 10,140 in 2005 to 19,652 in 2006. Such numbers put a severe strain on prison health personnel and resources that are already overstretched. 

In response to this and other evidence that suggest a growing HIV related problems in prisons, a number of risk reduction and HIV prevention interventions have been implemented in prisons, since 2005, primarily supported by the Ministry of Law and Human Rights and two bilateral donor programs, FHI-ASA and IHPCP. These have ranged from the provision of IEC materials to inmates and staff to comprehensive risk reduction services, ARV and methadone therapy. 

This report provides a broad outline of the national plans to overcome HIV and AIDS problem in prisons, activities with partners that have already been carried out and what has already been achieved, as well as some of the constraints and challenges, and plans for follow up action.






Unduh Disini:


http://www.fhi360.org/NR/rdonlyres/eh627o3h4dy342vvkswf5xcsi7awarnn6mm72rcmtvud4mfmsalvqdqho3crru4pzbfplime7sr34k/PreventionCarePrisonsIndonesiaHV.pdf

10 Langkah Mengembangkan Kebijakan Publik



Deskripsi: Pasal Pertama dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan merdeka, memiliki martabat dan hak-hak yang sama. Pasal pembuka tersebut sekaligus menjadi inti dari Hak Asasi Manusia yakni tidak boleh ada pembedaan perlakuan pada siapapun, tidak boleh ada diskriminasi pada segenap manusia, siapapun dia.

Namun kenyataanya semangat anti diskriminasi tidak sekuat semangat kebalikannya. Kepentingan ekonomi dan kepentingan politik seringkali telah mengaburkan kepentingan kemanusiaan, bahkan dimana-mana dengan mengatasnamakan ?moral? dipakai untuk meruntuhkan moral kemanusiaan itu sendiri.

Diskriminasi terhadap orang-orang dengan HIV/AIDS merupakan contoh yang dapat dengan mudah kita saksikan. Permasalahan moralitas menjadi alasan utama mengapa mereka didiskriminasi.

Unduh Disini:

10 Langkah Mengembangkan Kebijakan Publik 

1DARI 3 ORANG TERINFEKSI HIV MENGALAMI STIGMA DAN DISKRIMINASI DILINGKUNGANNYA


Pentingnya pendidikan sebagai dasar utama pencegahan HIV menyebabkan semakin besarnya kebutuhan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan. Pada tahun 2000, sebuah terminologi baru di dalam pendidikan diperkenalkan, yaitu ‘education vaccine’. Pendidikan dilihat sebagai ujung tombak upaya pencegahan penyebaran HIV (World Bank, 2002; Boler Tania and Kate Carroll, undated; Vandemoortele, Jan and Enrique Delamonica, 2000). Namun, fakta menunjukkan hal yang menyedihkan. Walaupun pendidikan dipercaya bisa mengurangi HIV, banyak ODHA terpaksa harus mengurangi bahkan berhenti menjalani pendidikannya karena HIV dan AIDS. Secara global , HIV dan AIDS dipandang sebagai tantangan yang sangat besar dalam sektor pendidikan yang masih merupakan salah satu faktor penghambat pencapaian MDG untuk pendidikan bagi semua pada tahun 2015. (UNESCO, 2001; Wijngaarden Jan and Sheldon Shaeffer, 2004).
HIV dan AIDS memberikan dampak negatif terhadap akses dan kualitas pendidikan yang mungkin didapatkan oleh seorang anak. Sering kali anak-anak dari rumah tangga ODHA terpaksa untuk mangkir dari sekolah untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga atau untuk ikut membantu merawat anggota keluarga yang sakit. Biaya untuk pendidikan anak sering juga dikorbankan untuk pemenuhan kebutuhan pengobatan dan perawatan anggota keluarga yang sakit. Dari segi kualitas, selain anak tidak bisa berkonsentrasi sekolah karena permasalahan dan kondisi yang dia alami, sering juga anak harus menghadapi kondisi tidak nyaman karena masih besarnya stigma di masyarakat terkait infeksi HIV yang diderita salah seorang anggota keluarganya.
Survei Dampak Sosial Ekonomi Pada Individu dan Rumah Tangga Dengan HIV di 7 provinsi di Indonesia tahun 2009 yang dilakukan oleh BPS dan JOTHI, dimana 996 rumah tangga (Ruta) dengan salah satu atau lebih anggota rumah tangganya (ART) terinfeksi HIV dan 996 ruta tanpa orang terinfeksi HIV sebagai ruta kontrol berpartipasi, menunjukan adanya dampak nyata HIV terhadap pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah, dimana persentase anggota rumah tangga kelompok umur 13-15 Thn (Setingkat SLTP), 16-18 Thn (SLTA) dan 19-24 Thn (Perguruan Tinggi) di Rumah Tangga Dengan HIV jauh lebih rendah dibanding Rumah Tangga Non-HIV.
Jurang perbedaan persentase partisipasi sekolah antara rumah tangga dengan HIV dan Non-HIV semakin lebar seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada disamping dimana persentase perbedaan partisipasi sekolah antara rumah tangga dengan HIV dan Non-HIV pada tingkat SLTP adalah 10% meningkat menjadi 19% pada tingkat SLTA dan 50% pada pendidikan yang lebih tinggi dari SLTA. Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak-anak dari rumah tangga Non-ODHA cenderung memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dari pada keluarga ODHA. Padahal tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan kualitas hidup, makin tinggi pendidikan seseorang maka idealnya makin berkualitas hidupnya karena pengetahuan dan wawasan luas yang dimilikinya.
Keberadaan anggota rumah tangga yang terinfeksi HIV sedikit banyak telah mempengaruhi kemampuan ekonomi rumah tangga, akhirnya mungkin anak-anak usia sekolah menjadi putus sekolah karena orangtua mereka tidak mampu membayar biaya sekolah mereka sebagai akibat menurunnya pendapatan keluarga atau pengeluaran kesehatan yang meningkat. Anak-anak, terutama perempuan, dapat ditarik keluar dari sekolah untuk merawat orang sakit anggota keluarga atau untuk menambah pendapatan keluarga.
Selain berdampak pada tingginya angka putus sekolah, infeksi HIV juga berdampak pada rendahnya tingkat kehadiran anak di sekolah. Persentase anak yang sering bolos sekolah dari anggota rumah tangga yang masih sekolah di rumah tangga dengan HIV jauh lebih tinggi (17%) dibanding rumah tangga Non-HIV (7%). Pengalaman pernah tidak naik kelas dari anak yang masih sekolah pada rumah tangga dengan HIV (16%) juga lebih tinggi dibanding rumah tangga Non-HIV. Hal ini bisa saja berkaitan dengan tingkat sering tidak masuk sekolah yang lebih tinggi pada rumah tangga dengan HIV. Selain itu, pengalaman pindah sekolah pada anak usia yang masih sekolah dari rumah tangga dengan HIV (16%) lebih dari 2 kali lipat dari rumah tangga Non-HIV (7%).
Semoga situasi ini sudah mendapat perhatian para pemangku kebijakan di negara tercinta ini, dimana dengan anggaran pendidikan yang 20% dari APBN seharusnya pendidikan anggota keluarga dari rumah tangga dengan HIV juga lebih diperhatikan.

BP Am Sinode GKI melakukan Tes HIV/AIDS





ADOH 1 DARI 2 SISWA SLTA DI KAB. MIMIKA PERNAH BERHUBUNGAN SEKS


Hampir semua responden Survei Perilaku Siswa SLTA di Kabupaten Mimika pernah mendengar tentang HIV dan AIDS, dan juga pernah mengikuti berbagai penyuluhan terkait program pengendalian HIV di sekolahnya. Hal ini sejalan dengan hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan para guru yang intinya menyatakan bahwa penyuluhan HIV sudah cukup intensif dilakukan dilingkungan sekolah. Selain itu, Guru juga merupakan sumber informasi tentang HIV dan AIDS yang paling banyak disebutkan oleh responden. Temuan ini berbeda dengan hasil survei perilaku pada siswa SLTA di 6 kota lainnya (Yogyakarta, Tangerang, Pontianak, Samarinda, Jakarta dan Surabaya) yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada tahun 2007-2009, dimana televisi merupakan sumber informasi yang paling sering disebutkan oleh respondennya.
Program penyuluhan terbukti mampu memberikan pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap tingkat pengetahuan komprehensif tentang cara penularan dan pencegahan HIV. Hal ini dibuktikan oleh rasio odds 10.1 dengan 95% CI 3.2 – 32.2 dan nilai p <0.01 yang bisa diartikan bahwa responden yang pernah mengikuti program penyuluhan 10 kali lebih mungkin untuk memiliki pengetahuan komprehensif. Walaupun demikian 1 dari 2 responden masih memiliki pemahaman yang keliru tentang cara pencegahan dan penularan HIV.
Banyaknya responden yang memiliki pemahaman keliru tentang cara penularan dan pencegahan HIV, sedikit banyak berkontribusi pada tingginya perilaku stigma pada ODHA yang mencapai 35% responden. Indikasi hubungan atau pengaruh tingkat pengetahuan komprehensif dengan perilaku stigma ditunjukan oleh hasil analisis regresi yang signifikan secara statistik (Rasio Odd 2.4; 95% CI 1.3 – 4.4; nilai p = 0.008). Persentase perilaku stigma tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil survei perilaku di 6 kota lainnya yang berkisar antara 28% - 49%.
Persentase responden Survei Perilaku Siswa SLTA di Kabupaten Mimika yang mengaku pernah berhubungan seks (26%) 2.5 – 9 kali lebih tinggi dibanding hasil survei perilaku pada siswa SLTA di 6 kota lainnya yang berkisar antara 3% (Tanggerang) - 11% (Surabaya). Apalagi jika dibandingkan dengan persentase responden etnis/suku Papua yang pernah berhubungan seks (41%) maka perbedaannya menjadi yaitu 4 – 12 kali lebih tinggi. Selain itu, 1 dari 2 reponden yang mengaku pernah berhubungan seks juga mengaku melakukannya dengan lebih dari 1 pasangan seks dalam 1 tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa siswa SLTA pada umumnya dan siswa SLTA etnis/suku Papua di Kabupaten Mimika jauh lebih berisiko untuk terinfeksi HIV ataupun menghadapi masalah kesehatan reproduksi lainnya dibanding siswa SLTA di kota-kota lainnya dimana survei perilaku sejenis pernah dilakukan.
 Alasan berhubungan seks yang sering disebutkan oleh siswa SLTA laki-laki peserta FGD adalah karena ingin mencoba dan mengikuti teman sebaya, sehingga banyak juga diantaranya yang berhubungan seks dengan Wanita Pekerja Seks karena tidak mempunyai pacar atau pacarnya tidak mau diajak berhubungan seks. Sedangkan pada siswa SLTA perempuan peserta FGD, alasan yang diungkapkan cukup mencengangkan karena lebih banyak yang melakukan hubungan seks untuk mendapatkan uang dan melakukannya dengan laki-laki yang lebih tua usianya seperti Karyawan, Supir Taxi dan juga TNI/Polisi. Temuan ini perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak karena risiko terinfeksi HIV perempuan muda yang berhubungan seks dengan laki-laki yang jauh lebih tua menjadi jauh lebih tinggi dibanding dengan laki-laki sebaya.
Alasan berhubungan seks responden survei perilaku siswa SLTA laki-laki di Kabupaten Mimika sejalan dengan temuan dari Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) yang dilakukan Badan Pusat Statistik tahun 2007, dimana alasan berhubungan seks 1 dari 2 laki-laki usia 15-24 tahun dan belum menikah adalah karena ingin tahu. Sedangkan alasan berhubungan seks responden perempuan berbeda dengan hasil SKRRI, dimana pada responden SKRRI alasan sebagian besar responden perempuan berhubungan seks adalah karena terjadi begitu saja (38%) dan karena dipaksa oleh pasangannya (21%).
Beberapa faktor yang mempengaruhi riwayat hubungan seks responden Survei Perilaku Siswa SLTA di Kabupaten Mimika adalah riwayat menonton adegan/film porno, status tinggal dengan orang tua, serta pengetahuan komprehensif tentang cara pencegahan dan penularan HIV. Hasil survei kuantitatif tersebut didukung dengan temuan dari FGD dengan siswa/siswi SLTA yang menyatakan sering melakukan hubungan seks sambil atau setelah menonton film porno dan tempat melakukan hubungan seks yang paling sering adalah tempat kos yang diistilahkan dengan “Mabes”.

Konsistensi penggunaan kondom dalam hubungan seks 1 tahun terakhir dari responden masih sangat rendah, dimana alasan yang paling sering diungkapkan untuk tidak menggunakan kondom adalah karena sayang/cinta pasangannya dan malu untuk membeli kondom. Walaupun demikian jika dibandingkan dengan hasil survei perilaku pada siswa SLTA di 6 kota lainnya (3%-18%), tingkat konsistensi penggunaan kondom dalam hubungan seks 1 tahun terakhir siswa SLTA di Kabupaten Mimika termasuk kedalam kelompok yang tinggi.
Rendahnya tingkat penggunaan kondom dan tingginya frekuensi hubungan seks responden Survei Perilaku Siswa SLTA di Kabupaten Mimika menyebabkan tingginya tingkat kehamilan yang tidak diinginkan dari responden perempuan maupun pasangan responden laki-laki. Persentase responden perempuan yang pernah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan tersebut bahkan hingga hampir 10 kali lebih tinggi dibanding hasil SKRRI pada perempuan usia 15-24 tahun yang belum menikah.
Analisis regresi berganda beberapa variabel yang diduga berpengaruh terhadap kehamilan yang tidak diinginkan seperti status tinggal dengan orang tua, pengetahuan komprehensif tentang cara penularan dan pencegahan HIV, cakupan program penyuluhan dan suku/etnis orang tua menunjukan bahwa hanya suku/etnis yang berpengaruh secara statistik. Responden atau pasangan responden suku/etnis Papua yang pernah berhubungan seks 2 – 8.5 kali lebih mungkin hamil dibanding responden Non-Papua (Rasio Odd 4.3; 95% CI 2.1 – 8.5; nilai p < 0.001). Bahkan responden atau pasangan responden suku/etnis Papua yang hamil 8 kali lebih banyak yang meneruskan kehamilannya hingga melahirkan dibanding responden Non-Papua, yang juga berarti lebih banyak responden suku/etnis Papua yang terpaksa tidak melanjutkan sekolahnya akibat hamil karena dari hasil FGD dengan para guru diketahui bahwa sekolah akan mengeluarkan siswi yang hamil.
Perilaku berisiko lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan penularan HIV tetapi cukup banyak dilakukan oleh siswa SLTA di Kabupaten Mimika adalah mabuk karena minum minuman beralkohol dan mengkonsumsi Napza lainnya. Perilaku tersebut sangat di pengaruhi oleh perilaku merokok responden.
Laporan lengkapnya bisa diakses melalui link dibawah ini

Sumber:




"Klinik Wali Hole"

Nama Wali Hole dinamai Ketua Sinode GKI Di Tanah Papua, Pdt. Albert Yoku, STh. Kata "Wali Hole" berasal dari bahasa Sentani yang berati "Pemberi Kehidupan". Klinik ini dirintis oleh Agnella Chingwaro seorang konsultan HIV/AIDS dari United Evangelism Mission Jerman sejak tahun 2010. Ia ke Papua dengan meninggalkan keluarganya di Boswana Afrika hanya untuk bergumul bersama gereja dan masyarakat untuk menanggulangi dan mengurangi HIV/AIDS di Papua. 

Ibu Agnella Chingwaro
Klinik ini dihadirkan sebagai wujud Care and Service Integrated bagi saudara-saudara yang terinveksi HIV.   

Kasih sayang merupakan modal utama para petugas dalam melayani Pasien.

Apa yang dilakukan Klinik Wali Hole Yoka?

  1. Menerima pemeriksaan HIV/AIDS secara GRATIS.
  2. Menyediakan obat-obatan HIV/AIDS  secara GRATIS 
  3. Melakukan Pelayanan Konseling Pastoral (kepada pasien maupun keluarga)  secara GRATIS 
  4. Melakukan Pendidikan, pembinaan, Pelatihan  secara GRATIS
  5. Berkomitmen untuk merahasiakan status penderita.

"Dengan meminum obat secara teratur dan mengkonsumsi makanan bergizi, maka kita mengurangi kematian orang dengan HIV AIDS."

Pengidap HIV/AIDS di Papua 10 Ribu Jiwa


JIKA DITOTAL DARI YANG BELUM TERDATA, PENGIDAP DIPERKIRAKAN MENCAPAI 24 RIBU ORANG

Pengidap HIV/AIDS di Provinsi Papua terus meningkat. Bahkan, peningkatannya terjadi dalam hitungan bulan.
Berdasarkan data per Desember 2011, Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) tercatat sekitar 10.785 orang dari total jumlah penduduk di Provinsi Papua sebanyak 2,8 juta jiwa (data sensus 2010).

"Meningkat sekitar 3 ribuan dari bulan Maret tahun yang sama, yang masih sekitar 7.355 orang," ujar Josef Rinta, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Selasa 14 Februari 2012.

Peningkatan itu diketahui setelah kesadaran masyarakat untuk memeriksa VCT (volunteer counseling testing) sudah cukup baik. "Sehingga data otentik yang positif mengidap HIV bisa diperoleh," katanya.

Josef menambahkan, angka 10.785 orang itu berdasarkan data yang tercatat. Namun, jika diperkirakan, jumlah pengidap HIV/AIDS di Provinsi Papua bisa mencapai dua puluh ribu orang.

"Estimasi kami, pengidap HIV/AIDS di seluruh Provinsi Papua mencapai 24.355 orang," ungkapnya.

Kabupaten dengan jumlah penduduk paling banyak mengidap HIV/AIDS adalah Mimika 3.938 orang dan Kota Jayapura 2.010 orang.

Pengidap HIV/AIDS di Papua rata-rata berusia produktif yakni 20-40 tahun, dan penyebarannya melalui hubungan seksual. "Sekitar 93 persen pengidap HIV/AIDS di Papua tersebar melalui hubungan seksual," ucapnya.

Yang lebih menyedihkan, dari 10.785 orang pengidap HIV/AIDS di Papua, 116 di antaranya adalah balita.